Persahabatan
Oleh:
Erin Oliviana
Reni
namanya, memiliki pipi tembem, mata yang besar, dan memiliki sifat pendiam, ia
tinggal bersama ibu dan kakaknya.
Sejak
kelas 3 SD, ia selalu mendengar orang beradu di tengah malam, dan tidak lain
orang tersebut adalah kakak, dan ibunya. Kenakalan remaja menjadi faktor utama
pertengkaran tersebut, Ayah Reni juga sedang bekerja di luar kota, jadi tidak
ada orang yang dapat melerai mereka, dengan perasaan takut, dan sedih, Reni
mulai berbicara dengan nada yang lembut.
“Sudah
cukup kak, kumohon diamlah, dan ibu juga tenanglah, ini sudah larut malam, ayo
tidur saja.” Kata-kata yang terucap dari Reni dengan memohon dan menangis.
Setiap
hari terjadi seperti itu, dan hanya Reni lah sebagai penenang ibunya. Pada
suatu hari Reni duduk bersama ibunya,
“Nduk,
kamu harapan ibu satu-satunya sekarang, kamu harus tahu bagaimana cara memilih
teman, jangan sampai salah pergaulan, ibu selalu doakan kamu supaya menjadi
anak yang sukses ya nduk,” kata ibu, Reni hanya mengangguk.
“Lho, kok ga bilang aamiin?” Tanya Ibu Reni.
“Aamiin
bu,” sahut Reni dengan senyuman.
Setiap
hari Reni bertambah dewasa, ia tidak ingin berteman dengan siapapun, sifatnya berubah
menjadi pendiam dan tidak peduli dengan sekitarnya, dan itu membuatnya sulit
berteman. Hingga suatu hari ia didatangi oleh segerombolan siswi dari kelasnya,
salah satu dari mereka mengucapkan kata yang membuat Reni sedikit terkejut,
“Hai,
namaku Vera, dan ini Sita, Ceny, Zeni, dan Tyas.”
Reni
pun membalas dengan singkat “Hai, Reni.”
Reni
terkejut karena baru pertama kali ada orang yang mengajak bicara.
“Salam kenal ya Reni, ayo kita makan siang
bareng!”
Dengan
perasaan yang sedikit aneh ia mengikuti mereka, karena jika ditolak akan merasa
tidak nyaman, mereka mengobrol dan saling bercanda, Reni mulai tersenyum
mendengar candaan mereka. Dalam hati, Reni berpikir mereka adalah anak yang
baik.
“Hey,
kok senyum aja, ayo ikut ngobrol!” Ucap Tyas.
Reni
hanya menganggukkan kepala.
Sikap
dingin Reni semakin lama semakin hilang, Reni menjadi orang yang lebih peduli
terhadap sekitar, seperti es yang meleleh karena hangatnya matahari, Reni juga
semakin terbuka. Reni, Vera, Sita, Ceny, Zara, dan Tyas, mereka sudah menjadi
sahabat, susah senang selalu mereka lalui bersama.
******
Keluarga
Reni juga sudah mulai membaik, kakaknya juga sudah tak seperti dulu, itu
membuat keluarga Reni tak lagi terpecah, malah semakin dekat dan akrab.
Reni
juga mulai mengenal sifat teman-temannya, pertama Vera, mukanya judes, tapi
sebenarnya baik, dan sebenarnya saat pertama Vera menyapa Reni, Reni menganggap
Vera ingin melabraknya. Kedua Sita, mukanya juga judes, tetapi malah ia yang
sering membuat mereka tertawa. Ketiga Ceny ia pemberani, dan anak yang aktif. Keempat
Zara, dia seorang pendiam, tetapi ia ramah senyum. Dan yang terkhir Tyas, dia
orangnya baik di luar dan di dalam.
Tapi suatu saat Sita yang biasanya suka
bercanda, waktu itu ia malah menjadi pemalu dan pendiam.
“Sita,
tumben kok diem aja? Biasanya paling berisik,” tanya Vera.
“Gapapa
kok cuma-” Tiba-tiba Sita berhenti berbicara sambil menatap orang yang lewat.
Reni,
Vera, Ceny, Zara, dan Tyas menghadap belakang.
“Ohh,
kamu suka Kak Re-” Sita cepat-cepat membungkam mulut Vera dengan tangannya.
“Bilang
aja kalo suka Kak Rey hahaha,” sahut Reni.
“Apaan
sih nggak kok!” Ucap Sita menentang Reni.
Keesokan
harinya sifat Sita benar-benar berubah, ia tak mau mengobrol dan berkumpul
bersama teman-temannya.
“Sita
kenapa sih, kok aneh banget?” Tanya Vera.
“Kamu
ga tau? Kak Rey kan suka sama Zara!” Ujar Ceny.
“Hah?!”
Ucapan dengan serentak.
“Zara
kamu tau?” Tanya Tyas.
“Aku
baru tau juga, gimana dong…” Jawab Zara.
“Ga
banget sih alasannya, masa persahabatan hancur gegara Kak Rey ga suka sama
Sita!” Ujar Tyas.
“Iya
juga sih.. Ayo coba ngomong baik-baik sama Sita!” Ujar Reni.
Sepulang
sekolah mereka bergegas ke rumah Sita.
‘TOK TOK TOK’
(suara ketukan pintu).
Ibu
Sita membuka pintu dan berkata,
“Eh…
Vera, sama temen-temen Sita ternyata, nyari Sita ya?” Tanya ibu Sita.
“Iya
tante,” jawab serentak.
“Sita
ada di kamar, langsung aja ke kamar,” ujar Ibu Sita.
Sesampai
di kamar, Sita yang melihat Zara, ia langsung mengeluarkan ekspresi tidak suka.
“Kenapa
kalian ke sini?” Tanya Sita.
“Sit,
masa kamu gitu sih sama kita, kita udah sahabatan dari lama, masa hancur cuman gara-gara
Kak Rey, yang bukan siapa-siapa kamu!” Ujar Vera.
“Diem!”
Bentak Sita.
“Sita,
kalo kamu marah, marah sama aku aja, jangan mereka, mereka ga ada kaitannya,” ucap Zara.
“Kalian
kan udah lama kenal kan, sebelum ketemu aku, kalian yang ngubah aku juga,
jangan berantem dong, kalian berharga buat aku!” Ujar Reni.
“Iya,
masa kamu cuman mikirin diri kamu sendiri?” Tanya Ceny.
Mendengar
perkataan Ceny, Sita tersadar akan sikapnya saat ini, ia merasa bahwa ia salah.
“Hiks
hiks, maafin aku, aku ga bisa kontrol emosi, aku terlalu egois sampe ga mikirin
kalian, maaf, seharusnya hal sesepele ini aku nggak sampe merusak persahabatan,” ucap Sita sambil menangis.
“Huaaaa,
Sita gapapa kok itu wajar, semua manusia juga memiliki perasaan.” Ujar Ceny
sambil memeluk Sita.
“Kok
jadi sedih sih…” Sahut Vera sambil melihat mereka berpelukan.
“Aaaa…
sini gabung berpelukan,” ucap Ceny.
Reni
tersenyum dan ikut memeluk.
“Zara,
ayo sini,” ucap Vera.
“Nggak
usah, kalian aja deh,” sahut Zara dengan menggelengkan kepala.
Sita
melepas pelukan dan berjalan menuju Zara.
“Heh!
Jangan sombong ya!” Bentak Sita ke Zara.
“Maaf
Sit, aku ngga bermaksud,” Zara berbicara lembut dengan hati yang bersalah.
“Heh!
Yang aku maksut itu, ayo ikut berpelukan, lagian ga usah merasa bersalah, Kak
Rey kan juga berhak punya rasa suka ke orang lain, dan ga mungkin juga aku
memaksakan perasaan orang, dan aku juga minta maaf ya, karena udah marah ga jelas
ke kamu.” Ucap Sita dengan tersenyum.
Zara
melompat dan langsung memeluk Sita.
Komentar
Posting Komentar